Kamis, 19 Maret 2009

FAKTUR PAJAK STANDAR

Faktur Pajak adalah bukti pungutan Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.

Faktur Pajak paling sedikit memuat keterangan tentang :
a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. Kode, Nomor Seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak

Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat :
a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
b. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
e. pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan PER-159/PJ./2006 tmt 1 Januari 2007, Format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar :
1. Format Kode Faktur Pajak Standar terdiri dari 6 (enam) digit, yaitu :
a. 2 digit pertama adalah Kode Transaksi,
b. 1 digit berikutnya adalah Kode Status,
c. 3 digit berikutnya adalah Kode Cabang.
2. Format Nomor Seri Faktur Pajak Standar terdiri dari 10 (sepuluh) digit, dengan rincian sebagai berikut :
a. 2 digit pertama adalah Tahun Penerbitan.
b. 8 digit berikutnya adalah Nomor Urut.

Sehingga format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar secara keseluruhan menjadi sebagai berikut :
XXX.XXX-XX.XXXXXXXX

Kode Transaksi :
01 - digunakan untuk penyerahan kepada selain Pemungut PPN
02 - digunakan untuk penyerahan kepada Pemungut PPN Bendaharawan Pemerintah
03 - digunakan untuk penyerahan kepada Pemungut PPN Lainnya (selain Bendaharawan Pemerintah)
04 - digunakan untuk penyerahan yang menggunakan DPP Nilai Lain kepada selain Pemungut PPN
05 - digunakan untuk penyerahan yang Pajak Masukannya diDeemed kepada selain Pemungut PPN
06 - digunakan untuk penyerahan Lainnya kepada selain Pemungut PPN
07 - digunakan untuk penyerahan yang PPN atau PPN dan PPn BM-nya Tidak Dipungut kepada selain Pemungut PPN
08 - digunakan untuk penyerahan yang Dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan PPn BM kepada selain Pemungut PPN
09 - digunakan untuk penyerahan Aktiva Pasal 16D kepada selain Pemungut PPN

Kode Status :
0 - Faktur Pajak Normal/yang pertama kali diterbitkan
1 - Faktur Pajak Pengganti

Kode Cabang :
000 - untuk Wajib Pajak berstatus tunggal atau cabang yang telah dipusatkan
sesuai kode cabang - untuk Wajib Pajak yang berstatus Pusat yang cabangnya telah dipusatkan

Tahun Penerbitan : diisi dua digit terakhir tahun diterbitkannya Faktur Pajak

Nomor Urut : diisi sesuai nomor urut Faktur Pajak dalam format 8 digit dan setiap tahun harus dimulai dari nomor urut 00000001.

PENYUSUTAN DAN AMORTISASI DALAM BIDANG TERTENTU

Pada akhir tahun 2008, Menteri Keuangan telah mengeluarkan paket peraturan pelaksanaan UU No. 36 Tahun 2008 ( UU PPh) yang diantaranya mengatur tentang Amortisasi dan Penyusutan dalam bidang usaha tertentu (PMK-248/PMK.03/2008 dan PMK-249/PMK.03/2008).
Berdasarkan kedua PMK tersebut, yang dimaksud bidang usaha tertentu adalah :
a. bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 tahun.
b. bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 tahun.
c. bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat berproduksi berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara sekurang-kurangnya 1 tahun

Pada PMK-248/PMK.03/2008, Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya untuk bidang usaha tertentu, dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan produksi komersial.
Yang dimaksud dengan Bulan produksi komersial adalah bulan dimana penjualan mulai dilakukan.

Sedangkan pada PMK-249/PMK.03/2008, diatur hal-hal sebagai berikut :
a. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut
b. Harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa aktiva tetap yang dimiliki dan digunakan serta merupakan komoditas pokok dalam bidang usaha tertentu, yaitu :
1. bidang usaha kehutanan, meliputi tanaman kehutanan, kayu;
2. bidang usaha industri perkebunan tanaman keras meliputi tanaman keras;
3. bidang usaha peternakan meliputi ternak, termasuk ternak sapi pejantan.
c. Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang dimaksud pada poin a, termasuk biaya pembelian bibit, biaya untuk membesarkan dan memelihara bibit tidak termasuk biaya yang berhubungan dengan tenaga kerja
d. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dimulai pada bulan produksi komersial, yaitu bulan dimana penjualan mulai dilakukan
e. Apabila harta berwujud yang disusutkan tersebut di kemudian hari dijual, maka harga jual merupakan penghasilan dan nilai sisa buku merupakan kerugian

Rabu, 18 Maret 2009

PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH

Awal Maret 2009 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 43/PMK.03/2009 dan Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-22/PJ/2009 yang memberikan stimulus fiskal berupa PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP)kepada para pekerja dibidang usaha tertentu, yaitu :
a. kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan;
b. kategori usaha perikanan; dan
c. kategori usaha industri pengolahan

PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada pekerja yang bekerja pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan tidak lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dalam satu bulan.

Dengan adanya fasilitas PPh Pasal 21 DTP maka pemberi kerja tidak perlu memotong PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerjanya.
Dalam hal pemberi kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 kepada pekerja atau menanggung PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerja maka PPh Pasal 21 yang ditunjang atau ditanggung tersebut tetap harus diberikan/dibayarkan secara tunai kepada pekerja yang mendapat PPh Pasal 21 DTP.
Download :
PMK-43/PMK.03/2009
PER-22/PJ/2009

Formula Penghitungan PPh Pasal 21 Masa di Tahun 2009

Beberapa pengertian/istilah yang digunakan :
PB = penghasilan bruto, total semua penghasilan yang diterima.
BJ = biaya jabatan, 5% dari penghasilan tetapi maksimal Rp. 500 ribu per bulan.
BP = biaya pensiun, 5% dari pensiunan tetapi maksimal Rp. 200 ribu per bulan.
IP = iuran pensiun, sesuai yang dibayarkan ke Dana Pensiun.

PTKP = penghasilan tidak kena pajak, yang untuk tahun 2009 besarnya :
1. Tidak Kawin : Rp. 15.840.000 setahun : Rp. 1.320.000 per bulan
2. K/0 : Rp. 17.160.000 setahun : Rp. 1.430.000 per bulan
3. K/1 : Rp. 18.480.000 setahun : Rp. 1.540.000 per bulan
4. K/2 : Rp. 19.800.000 setahun : Rp. 1.650.000 per bulan
5. K/3 : Rp. 21.120.000 setahun : Rp. 1.760.000 per bulan
Apabila istri memiliki penghasilan yang digabung :
1. K/I/0 : Rp. 31.680.000 setahun : Rp. 2.640.000 per bulan
2. K/I/1 : Rp. 33.000.000 setahun : Rp. 2.750.000 per bulan
3. K/I/2 : Rp. 34.320.000 setahun : Rp. 2.860.000 per bulan
4. K/I/3 : Rp. 35.640.000 setahun : Rp. 2.970.000 per bulan

Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a = tarif progresif berdasarkan Pasal 17 UU PPh yaitu :
1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d. Rp 25 Juta kena tarif 5%
2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 25 Juta s.d. Rp 50 Juta kena tarif 10%
3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 50 Juta s.d. Rp 100 Juta kena tarif 15%
4. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 100 Juta s.d. Rp 200 Juta kena tarif 25%
5. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 200 Juta kena tarif 35%

Formula Penghitungan :
Penghasilan Teratur yang diterima oleh Pegawai Tetap
(PB – (BJ + IP) – PTKP) x Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a

Upah yang Diterima oleh Tenaga Harian Lepas di atas Rp. 150.000/hari tetapi tidak lebih dari Rp. 1.320.000/bulan
(PB – Rp. 150.000) x 5%

Upah yang Diterima oleh Tenaga Harian Lepas tidak lebih dari Rp. 150.000/hari namun lebih dari Rp. 1.320.000/bulan
(PB – PTKP sebenarnya) x 5%
PTKP sebenarnya: PTKP harian yang dihitung berdasarkan lamanya bekerja

Honorarium/ Komisi yang diterima oleh :
a. Distributor MLM/Direct Selling
b. Petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus pegawai
c. Penjaja barang dagangan yang tidak berstatus pegawai
d. Penerima penghasilan bukan pegawai lainnya yang menerima penghasilan dari pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender
(PB – PTKP) x Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a


Uang Tebusan Pensiun, Uang THT atau JHT, Uang Pesangon [ FINAL ]-----------masih ketentuan lama
Rp. 25 juta s.d Rp. 50 juta = PB x 5%
Rp. 50 juta s.d Rp. 100 juta = PB x 10%
Rp. 100 juta s.d Rp. 200 juta = PB x 15%
Diatas Rp. 200 juta = PB x 25%

Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus yang diterima Mantan Pegawai
PB x Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a

Honorarium yang diterima Dewan Komisaris/Pengawas yang bukan pegawai tetap pada perusahaan yang sama
PB x Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a

Uang Pensiun Bulanan yang diterima pensiunan
((PB – BP) – PTKP) x Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a

Penarikan dana pada Dana Pensiun oleh Pensiunan
PB x Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a

Honorarium dan Pembayaran Lain yang diterima oleh Tenaga Ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris) sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan
a. Bekerja Tidak Berkesinambungan/Tidak ada kontrak
PB x Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a

b. Bekerja secara Berkesinambungan/Ada kontrak
Jumlah kumulatif PB x Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a

Honorarium yang diterima oleh Pegawai Tidak Tetap, Pemagang, Calon Pegawai
(PB – PTKP) x Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a

Honorarium dan pembayaran lain yang diterima oleh Tenaga Lepas (Seniman, Olahragawan, Penceramah, Pemberi Jasa, Pengelola Proyek, Peserta Perlombaan, PDL Asuransi, dll)
PB x Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a

Penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang diterima oleh Tenaga Asing (Expatriate) yang telah berstatus sebagai WPDN
((PB – (BJ + IP) – PTKP) x Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a